Jumat, 22 April 2011

ASPEK ONTOLOGIS ILMU KEOLAHRAGAAN

ASPEK-ASPEK ONTOLOGIS ILMU KEOLAHRAGAAN

Made Pramono

ABSTRACT

At the acknowledged risk of oversimplification, the term ontology is used here to indicate the investigation of the nature of Sport Science. “Sport Science” is the name for the scientific work and its result related to a very complex social subsystem called sport. This phenomenon is very diversified, has many faces, and has to be seen in a multidimensional way. Sport Science, therefore, must be described and justified as a scientific discipline. This is done by dealing with theoretical foundations. This research is intended to reflect and analyse the ontological aspect – object, scope, aim, and objective - which is one of the important aspect of this theoretical foundations, which in turn are a contribution to a Philosophy of Sport Science.

Key words: ontological aspect, Sport Science

Ilmu Keolahragaan memiliki sejarah yang relatif lebih pendek dibandingkan dengan ilmu-ilmu disipliner lain seperti filsafat, hukum, ekonomi, dan sebagainya. Bidang ilmu dibawahnyapun masih tergolong baru. Oleh karena itu, sangat penting bagi Ilmu Keolahragaan untuk membangun dasar-dasar teoritis sebagai sebuah disiplin ilmiah.

“Dasar-dasar teoritis” menunjukkan konsep dasar, persoalan pokok, dan pembenaran umum Ilmu Keolahragaan dengan bantuan prosedur teoritis. “Teori” atau “teoritis” berarti refleksi mendalam yang dikembangkan secara baik dalam standar-standar ilmiah. “Ilmu Keolahragaan” adalah nama bagi wissenschaft yang hasilnya dihubungkan pada sub-sistem sosial yang sangat kompleks yang disebut “olahraga”. Fenomena olahraga sangat beragam, banyak memiliki wajah, dan dilihat dalam multidimensi, oleh karena itulah maka ilmu yang menguraikan masalah ini, yakni Ilmu Keolahragaan, juga memperlihatkan karakter yang amat kompleks. “Disiplin ilmiah” menunjukkan satu cabang dalam bidang luas dunia ilmu. Pengembangan historis ilmu secara umum dapat dikarakteristikkan sebagai proses diferensiasi dan spesifikasi konstan. Jadi, banyak disiplin ilmiah yang eksis sekarang ini yang kelak akan lebih banyak lagi, karena proses diferensiasi menjadi suatu proses yang kontinu (Haag, 1994: 13).

Sesuatu yang sangat penting dan vital bagi Ilmu Keolahragaan - seperti halnya ilmu-ilmu lain seperti ilmu politik, kedokteran, sastra dan lain-lain - adalah bahwa Ilmu keolahragaan menyajikan sistem penelitian ilmiah, pengajaran, latihan, dan integrasi konstruktif ilmu-ilmu lain di dalamnya. Tentu saja, dasar-dasar teoritis-filsafati harus sudah kokoh terbangun sebagai syarat untuk dapat disebut sebagai ilmu mandiri.

Filsafat, dalam hal ini dianggap memiliki tanggung jawab penting dalam mempersatukan berbagai kajian ilmu untuk dirumuskan secara padu dan mengakar menuju Ilmu Keolahragaan dalam tiga dimensi ilmiahnya (ontologi, epistemologi dan aksiologi) yang kokoh dan sejajar dengan ilmu lain. Relevansi filsafati ini pada gilirannya mensyaratkan pula komunikasi lintas, inter, dan multidisipliner ilmu-ilmu terkait dalam upaya menjawab persoalan dan tantangan yang muncul dari fenomena keolahragaan. Dengan kata lain, proses timbal balik yang sinergis antara khasanah keilmuan dan wilayah praksis muncul, dan menjadi tanggung jawab filsafat untuk mengkritisi, memetakan dan memadukan hal tersebut. Filsafat Ilmu Keolahragaan, dengan titik tekan utama pada tiga dimensi keilmuan ini – ontologi, epistemologi, aksiologi – mengeksplorasi Ilmu Keolahragaan ini secara mengakar.

Ilmu Keolahragaan adalah ilmu yang relatif baru dan memiliki sejarah lebih pendek daripada bidang-bidang ilmu lain seperti filsafat, hukum, fisika, biologi dan lain-lain. Oleh karena itu, pendasaran teoritis-filsafati masih terus diupayakan, salah satunya melalui integrasi cabang-cabang Ilmu Keolahragaan (seperti psikologi olahraga, biomekanika olahraga) dan melalui ekstensifikasi dan intensifikasi tema kajian seperti nutrisi, sex, meditasi dan sebagainya.

Analisis pada penelitian ini berupaya memberikan sumbangan ke arah pemahaman yang lebih komprehensif dan intensif dalam membangun dasar-dasar teoritis Ilmu Keolahragaan sebagai suatu disiplin ilmiah. Pembahasan aspek ontologis Ilmu Keolahragaan merupakan satu dari tiga pilar utama selain aspek epistemologi dan aksiologi. Ketiga pilar ini secara integratif harus dipahami oleh akademisi Ilmu Keolahragaan dalam rangka pengakuan yang lebih luas dan mendalam terhadap Ilmu Keolahragaan dari masyarakat ilmiah, dan juga sebagai landasan strategis pengembangan dan interaksi lintas, inter, dan multidisipliner Ilmu Keolahragaan.

Pembahasan dari aspek ontologi berusaha menjawab persoalan apa objek studi Ilmu Keolahragaan yang dianggap unik dan tidak dikaji oleh disiplin ilmu lainnya. Selain itu, perlu juga memetakan medan kajian Ilmu Keolahragaan sebagai suatu rincian objek formalnya, serta pembahasan tentang maksud dan sasaran Ilmu Keolahragaan yang merupakan persoalan atau fokus penting dalam membangun dasar-dasar teoritis Ilmu Keolahragaan dari aspek ontologi ini (KDI Keolahragaan, 2000: 6, 9; Haag, 1994: 9).

Objek Studi Ilmu Keolahragaan

Karakteristik dari objek studi Ilmu Keolahragaan adalah fenomena gerak manusia. Fenomena gerak ini dalam konteks keolahragaan menjadi amat kompleks karena mengandung muatan biologis, psikologis, dan antropologis. Olahraga adalah bentuk perilaku gerak manusia yang spesifik. Arah dan tujuan orang berolahraga termasuk waktu dan lokasi kegiatan dilaksanakan sedemikian beragam. Ini menunjukkan bahwa olahraga merupakan fenomena yang relevan dengan kehidupan sosial dan ekspresi budaya, termasuk dalam hal ini kecenderungan khas ideologi, profesi, organisasi, pendidikan dan sains. Sedangkan sifat universalitas menunjukkan keanekaragaman olahraga yang dipengaruhi oleh keragaman sosial budaya dan kondisi geografis yang spesifik (Haag, 1994: 13) Fenomena olahraga hadir di masyarakat dan terkontrol di bawah restu nilai dan norma, di samping terikat langsung oleh kapasitas kemampuan biologik (Rusli dan Sumardianto, 2000: 2).

Arah kajian Ilmu Keolahragaan secara khusus adalah ilmu tentang manusia berkenaan dengan perilaku gerak insani yang diperagakan dalam adegan bermain, berolahraga dan berlatih (KDI Keolahragaan, 2000: 7). Karena itu, esensi dari fokus studi Ilmu Keolahragaan adalah studi dan pendidikan manusia dalam gerak. Tegasnya, arah kajian Ilmu Keolahragaan adalah gerak manusia (human movement), sehingga objek formalnya adalah gerak manusia dalam rangka pembentukan (forming) dan pendidikan (KDI Keolahragaan, 2000: 7).

Perilaku gerak berlangsung dalam hubungan koordinasi yang amat kompleks namun teratur, cepat, dan halus dari fungsi-fungsi neuro-fisiologis-anatomis yang menyatu dengan fungsi psikologis, sesuai ciri-ciri biologis manusia yang mampu memperbarui energi dan melaksanakan daur ulang, mengatur diri sendiri, beradaptasi, serta kemampuan mempertahankan keseimbangan atau homeostatis sebagai kata kunci untuk bertahan hidup. Ternyata gerak yang tampak dalam perilaku merupakan hasil keseluruhan sistem yang sinkron dan menyatu antara jiwa dan badan yang membentuk satuan individu sebagai pribadi. Unsur fisik-biologis, biokimia, impuls syaraf elektronik menyatu dengan unsur mental dan rohaniah. Manusia menggerakkan dirinya secara sadar melalui pengalaman badaniah sebagai medium mencapai tujuan tertentu. Dalam konteks pendidikan, khususnya pendidikan jasmani, gerak manusia inilah yang menjadi medan pergaulan yang bersifat mendidik antara peserta didik sebagai aktor, dan pendidik sebagai auctor, pengarah sekaligus fasilitator (Rusli dan Sumardianto, 2000: 1-2).

Hal tersebut selaras dengan pengertian olahraga itu sendiri yang dipahami sebagai proses pembinaan sekaligus pembentukan melalui perantaraan raga, aktivitas jasmani, atau pengalaman jasmaniah (body experience) dalam rangka menumbuhkembangkan potensi manusia secara menyeluruh menuju kesempurnaan. Jadi Ilmu Keolahragaan adalah pengetahuan yang sistematis dan terorganisir tentang fenomena keolahragaan yang dibangun melalui sistem penelitian ilmiah yang diperoleh dari medan-medan penyelidikan, di mana produk nyatanya tampak dalam batang tubuh pengetahuan Ilmu Keolahragaan (KDI Keolahragaan, 2000: 8).

Medan Kajian Ilmu Keolahragaan

Fungsi Ilmu Keolahragaan adalah mengkaji persoalan berdasarkan masalah yang telah diidentifikasi dan mengungkapkan pengetahuan sebagai jawabannya secara ilmiah. Berkaitan dengan objek formalnya, maka medan pengkajian Ilmu Keolahragaan mencakup spektrum aktivitas pendidikan jasmani yang cukup luas, yang meliputi: (1) bermain (play), (2) berolahraga (dalam arti sport) (3) pendidikan jasmani dan kesehatan (physical and health education), (4) rekreasi (recreation and leisure), dan (5) tari (dance). Hal ini tampak jelas dari sisi praktis atau layanan profesional yang pada gilirannya menjadi lahan subur bagi pengembangan batang tubuh Ilmu Keolahragaan itu sendiri (KDI Keolahragaan, 2000: 9).

a. Bermain

Johan Huizinga melihat permainan sebagai sumber dari bentuk-bentuk kultural paling penting, yang merentang sejak dari hal-hal yang menyenangkan, seperti seni, sampai ke hal-hal yang kurang menyenangkan dan kontroversial, seperti perang. Dalam karyanya Homo Ludens (manusia sebagai makhluk bermain – yang menjadi tesis antropologis-filsafatinya), Huizinga (1950: 18-21) memaparkan karakteristik bermain sebagai dorongan naluri, aktivitas bebas, dan pada anak merupakan keniscayaan sosiologis dan biologis. Ciri lain yang amat mendasar yakni kegiatan itu dilaksanakan secara suka rela, tanpa paksaan, dalam waktu luang. Huizinga menyebutkan juga ciri khusus permainan: ini bukanlah kehidupan “nyata” dan kebebasan mewarnai aktivitas tersebut. Namun patut diingat bahwa sebenarnya Huizinga menegaskan permainan sebagai keberadaan yang “tak serius”, tetapi di saat yang sama menyeret pemainnya untuk bermain intens atau habis-habisan (Huizinga, 1950: 21).

Huizinga melihat bahwa bermain dan berolahraga merupakan kegiatan yang senantiasa ada dalam inti kebudayaan masyarakat, sejak primitif sampai modern (Huizinga, dalam Hyland, 1990: 23). Meskipun “tak serius”, di dalam permainan terdapat nilai pendidikan, sehingga perlu dimanfaatkan sebagai upaya menuju pendewasaan melalui pemberian rangsangan yang bersifat menyeluruh, meliputi aspek fisik, mental sosial, dan moral yang berguna pada pencapaian pertumbuhan dan perkembangan secara normal dan wajar. Tujuan yang ingin dicapai tersirat di dalam kegiatan itu, suatu ciri yang membedakannya dengan aktivitas ‘bekerja’ (KDI Keolahragaan, 2000: 9-10).

b. Olahraga (Sport)

Istilah olahraga yang digunakan disini merupakan istilah generik, sehingga pengetahuannya tidak terbatas pada pengertian sempit olahraga prestasi-kompetitif-elit untuk sementara olahragawan yang pelaksanaannya dikelola secara formal seperti lazim dijumpai pada cabang-cabang olahraga resmi, tetapi juga jenis-jenis aktivitas jasmani lainnya yang bersifat informal.

Olahraga sebagai kata majemuk berasal dari kata olah dan raga. Olah artinya upaya untuk mengubah atau mematangkan, atau upaya untuk menyempurnakan. Bisa juga olah diinterpretasikan sebagai perubahan bunyi istilah ulah, yang berarti perbuatan atau tindakan. Sedangkan raga berarti badan/fisik. Dengan demikian, secara etimologis singkat, olahraga berarti penyempurnaan atau aktivitas fisik. Abdulkadir Ateng (dalam Harsuki dan Soewatini (ed.), 2003: 45) menganggap rancu jika kata olahraga ini dipadankan dengan kata asing sport. Menurutnya, sport hanya sebagian dari isi pengertian olahraga. Ia berasal dari bahasa Inggris Kuno disportare, yang berarti bersenang-senang [bandingkan dengan Rusli dan Sumardianto (2000: 1) yang berpendapat bahwa istilah sport berasal dari kata disport, dan pertama kali muncul dalam kepustakaan pada tahun 1303 yang berarti “sport, past time, recreation, and pleasure”]. Padanan sport yang lebih mendekati aslinya adalah seperti istilah sukan di Malaysia (Indonesia: bersuka-sukaan) (Abdulkadir, dalam Harsuki dan Soewatini (ed.), 2003: 45).

Makna istilah olahraga memang selalu berubah sepanjang waktu, namun esensi pengertiannya mengandung tiga unsur pokok: bermain, latihan fisik, dan kompetisi (Rusli dan Sumardianto, 2000: 1-2). Dalam “Declaration of Sport”, UNESCO mendefinisikan olahraga berikut ini, yang menyiratkan betapa luas kemungkinan cakupan makna olahraga:

Olahraga adalah setiap aktivitas fisik berupa permainan yang berisikan perjuangan melawan unsur-unsur alam, orang lain, ataupun diri sendiri (dalam Rusli dan Sumardianto, 2000: 6).

Definisi lain yang dirumuskan oleh Dewan Eropa pada tahun 1980 yang berbunyi “Olahraga sebagai aktivitas spontan, bebas, dan dilaksanakan selama waktu luang” merupakan interpretasi yang bersifat umum yang kemudian digunakan sebagai dasar bagi sport for all – olahraga masal - yang dimulai di Eropa tahun 1966, dan 27 tahun kemudian Indonesia mencanangkan panji olahraga “memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat” (Rusli dan Sumardianto, 2000: 6).

Berbagai definisi yang sudah ada tentang olahraga, bagaimanapun harus dilandasi suatu argumentasi yang konsisten. Istilah olahraga yang dipakai sebagai rujukan pengembangan Ilmu Keolahragaan adalah definisi yang bersifat umum, rumusan pedagog asal Jerman, Herbert Haag yang memperoleh pengakuan internasional:

The world sport is not used in the narrow sense of athletics of competitive sport, rather it means the sum of physical activities of formal and informal nature realize mostly in sport discipliness but also in fundamental forms like calisthenics, fitness training, or aerobics (Rusli dan Sumardianto, 2000: 7).

Olahraga itu sendiri pada hakikatnya bersifat netral dan natural, namun masyarakatlah yang kemudian membentuk dan memberi arti terhadapnya. Sesuai dengan fungsi dan tujuannya, olahraga dapat dirinci sebagai berikut.

1. Olahraga pendidikan adalah proses pembinaan menekankan penguasaan keterampilan dan ketangkasan berolahraga termasuk juga pembinaan nilai-nilai kependidikan melalui pembekalan pengalaman yang lengkap sehingga yang terjadi adalah proses sosialisasi melalui dan ke dalam olahraga.

2. Olahraga kesehatan adalah jenis kegiatan olahraga yang lebih menitikberatkan pada upaya mencapai tujuan kesehatan dan fitnes yang tercakup dalam konsep well-being melalui kegiatan olahraga.

3. Olahraga rekreatif adalah jenis kegiatan olahraga yang menekankan pencapaian tujuan yang bersifat rekreatif atau manfaat dari aspek jasmaniah dan sosial-psikologis.

4. Olahraga rehabilitatif adalah jenis kegiatan olahraga, atau latihan jasmani yang menekankan tujuan yang bersifat terapi atau aspek psikis dari perilaku.

5. Olahraga kompetitif adalah jenis kegiatan olahraga yang menitikberatkan peragaan performa dan pencapaian prestasi maksimal yang biasanya dikelola oleh organisasi olahraga formal, baik nasional maupun internasional (KDI Keolahragaan, 2000: 10-11).

Karena karakteristik olahraga semakin kompleks, selain mengandung muatan bio-psiko-sosio-kutural-antropologis dan juga teknologis (techno-sport) serta respon lingkungan (eco-sport), maka amat sukar menetapkan sebuah batasan. Namun demikian dapat diidentifikasi ciri yang bersifat umum (common denominator) sebagai berikut:

1. olahraga merupakan subsistem dari bermain: pelaksanaan secara sukareka tanpa paksaan;

2. olahraga berorientasi pada dimensi fisikal: kegiatan itu merupakan peragaan keterampilan fisik;

3. olahraga merupakan kegiatan riil, bukan ilusi atau imajinasi;

4. olahraga, terutama olahraga kompetitif, menekankan aspek performa dan prestasi sehingga di dalamnya terlibat unsur perjuangan, kesungguhan, dan faktor surprise sebagai lawan dari faktor untung-untungan sehingga performa itu dicapai melalui usaha pribadi;

5. olahraga berlangsung dalam suasana hubungan sosial dan bersifat kemanusiaan, bukan membangkitkan naluri rendah, bahkan justru membangun solidaritas;

6. olahraga harus bermuara pada upaya untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan total (wellness) (KDI Keolahragaan, 2000: 11-12).

Secara khusus dan ontologis, Richard Schacht (1998: 126-127) mengemukakan konsepsinya tentang olahraga yang telah dimodifikasi dari pandangan-pandangan sang filsuf martir, Nietzsche, yang pada bagian ini dapat dijadikan acuan tambahan pengembangan Ilmu Keolahragaan.

1. Olahraga menjadi aktivitas psikosomatik yang lepas dan terbuka di mana pikiran, tubuh, dan perasaan seseorang terlibat secara serempak dalam berolahraga.

2. Olahraga memuat sifat kognitif dan utilitarian meskipun tidak dalam kodrat dasariahnya.

3) Olahraga merupakan satu spesies permainan yang khas dalam hal struktur dan intensitasnya.

4) Olahraga meliputi pengolahan dan pengembangan kecakapan, keahlian, dan sensitivitas mental dan motorik, yang dapat diajarkan dan dipelajari, tetapi tak dapat direduksi pada formula-formula dan aturan-aturan mekanis.

5) Olahraga merupakan bagian fenomena sejarah dan budaya, dan bersifat sosial dan interpersonal.

6) Olahraga berpusat pada suatu jenis kompetisi, yang diilhami semangat “will to power”.

7) Olahraga memiliki kelenturan format perwujudan, namun sekaligus ketertiban tingkat keseriusan.

Hasil investigasi filsafati Scacht ini mengisyaratkan suatu keterbukaan ontologis olahraga, dipandang dari filsafat ilmu. Artinya, ekstensifikasi dan intensifikasi ilmiah dapat terjadi sampai pada interaksi yang bahkan revolutif di tingkat ontologis, misalnya pergeseran objek studi. Apabila di penelitian ini objek studi Ilmu Keolahragaan dibatasi pada fenomena gerak manusia, maka seiring perkembangan teknologi olahraga dalam techno-sport, bisa jadi pengabsahan-pengabsahan permainan yang sangat baru dengan instrumen teknologis sebagai fokusnya, menghasilkan kesepakatan global tentang objek studi Ilmu Keolahragaan yang baru. Objek studi Ilmu Keolahragaan kemudian tidak hanya menyangkut gerak insani, namun juga prestasi piranti teknologi ciptaan “atlet”, seperti yang dapat diamati pada perlombaan “Tamiya” di Indonesia akhir-akhir ini. (Bukankah secara awam dan harfiah, pemaknaan gerak insani tidak tepat bila digunakan pada olahraga catur dan bridge?).

c. Pendidikan Jasmani dan Olahraga

Pendidikan jasmani adalah proses sosialisasi melalui aktivitas jasmani, bermain dan/atau olahraga yang bersifat selektif untuk mencapai tujuan pendidikan pada umumnya. Meskipun orientasi pembinaan tertuju pada aspek jasmani, namun demikian seluruh skenario adegan pergaulan yang bersifat mendidik juga tertuju pada aspek pengembangan kognitif dan afektif sehingga pendidikan jasmani merupakan intervensi sistematik yang bersifat total, mencakup pengembangan aspek fisik, mental, emosional, sosial dan moral-spiritual (KDI Keolahragaan, 2000: 12).

Perlu ditegaskan bahwa pendidikan jasmani pengertiannya bukan pendidikan terhadap jasmani, tetapi pendidikan melalui jasmani. Secara definitif, Sukintaka menterjemahkannya sebagai berikut.

…proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungan, melalui aktivitas jasmani yang dikelola secara sistematik untuk menuju manusia Indonesia seutuhnya (Sukintaka, dalam Harsuki dan Soewatini (ed.), 2003: 5).

Sedangkan dalam kaitannya dengan pendidikan secara nasional, berdasarkan SK Mendikbud 413/U/1987, maka definisi pendidikan jasmani adalah:

…merupakan bagian integral dari pendidikan keseluruhan yang bertujuan meningkatkan individu secara organik, neuromuskuler, intelektual, dan emosional melalui aktivitas fisik (Abdulkadir, dalam Harsuki dan Soewatini (ed.), 2003: 5).

Pendidikan kesehatan adalah proses pembinaan pola atau gaya hidup sehat sebagai keterpaduan pengetahuan, nilai, sikap dan perilaku nyata. Tujuan yang ingin dicapai adalah kesehatan total, bukan dalam pengertian bebas dari cacat, tetapi sehat fisik, mental, dan sosial, seperti tercakup dalam konsep wellness. Antara sakit dan sehat bukan sebagai sebuah dikotomi, tetapi sehat bergerak dalam gerak kontinuum, sehingga fungsi dari pendidikan kesehatan adalah untuk meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan seseorang (KDI Keolahragaan, 2000: 12-13).

d. Rekreasi

Rekreasi adalah satu bentuk kegiatan suka rela dalam waktu luang, bukan aktivitas survival, yang diarahkan terutama dalam bentuk rekreasi aktif berupa aktivitas jasmani atau kegiatan berolahraga. Pelaksanaannya harus sesuai dengan norma dan etika masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai mencakup aspek pemulihan kelelahan, relaksasi, atau penanganan stress untuk menggairahkan hidup agar lebih produktif melalui relativitas energi dalam suasana kehidupan yang riang, tanpa tekanan dan merasa bahagia, di samping memperoleh pengakuan dari lingkungan sekitar melalui jalinan hubungan sosial (KDI Keolahragaan, 2000: 13).

e. Tari

Tari menunjukkan fenomena peragaan keterampilan ketangkasan, sehingga dari pengungkapan keterampilan gerak ia masuk ke tapal batas kegiatan olahraga. Namun aktivitas jasmani tersebut lebih bernuansa persyaratan seni atau faktor estetika, meskipun tidak bisa dibantah bahwa dalam berolahraga banyak sekali dijumpai unsur-unsur seni dan keindahan (KDI Keolahragaan, 2000: 13-14).

Maksud dan Sasaran Ilmu Keolahragaan

Pertanyaan apa yang dikaji oleh suatu disiplin ilmu, merupakan pertanyaan mendasar yang dalam wilayah akademis filsafat ilmu tercakup dalam ontologi ilmu (Jujun, 2002: 35). Permasalahan maksud dan sasaran dari apa yang dikaji ilmu tertentu, merupakan permasalahan ontologis juga yang merupakan cerminan pertanyaan-pertanyaan final “untuk apa?”, atau “mengapa?”. Demikian juga dengan disiplin ilmu baru seperti Ilmu Keolahragaan. Empat dimensi berikut ini menghasilkan sudut pandang berbeda serta wilayah yang luas dari aspek-aspek yang menyusun keseluruhan jawaban dari pertanyaan ontologis “apa fungsi Ilmu Keolahragaan itu?”. Meskipun Ilmu Keolahragaan keberadaannya masih baru, sejarah Ilmu Keolahragaan atau ilmu aktivitas jasmani dapat dilacak ke awal-awal abad 20, tanpa mempertimbangkan interpretasi yang diberikan oleh para filsuf dan sarjana medis sebelum tahun 1900 (Haag, 1994: 23). Pembahasan empat dimensi dalam pertimbangan ontologis “maksud dan sasaran” Ilmu Keolahragaan berikut ini merupakan pendasaran yang sederhana dan dipersingkat.

a. Dimensi Historis

Pertimbangan historis menyajikan kerangka kerja luas dalam mencari jawaban atau dapat menyumbang persepsi masa kini Ilmu Keolahragaan secara lebih baik. Bagaimanapun, kesalinghubungan masa lalu, masa kini, dan masa depan merupakan paradigma dasar berpikir yang tak dapat diabaikan: mengetahui masa lalu, mengalami masa kini, membentuk masa depan.

Gerakan, permainan dan olahraga sebagai bagian budaya manusia memiliki sejarah yang menarik. Cara yang relatif objektif dalam mendapatkan data dalam perspektif historis adalah menyampaikan perhatian terhadap topik yang diberikan pada dokumen-dokumen kunci. Dengan menganalisa hasil ini secara kronologis, kecenderungan dan perkembangan dapat diikuti sampai situasi terkini (Haag, 1994: 25-27).

b. Dimensi Komparatif

Perspektif horizontal termasuk dalam dimensi komparatif; Ini berhubungan dengan perbandingan persoalan dan memberi jawab dalam sedikitnya dua perbedaan latar belakang sosial-kultural atau negara-negara. Dengan menyimpulkan informasi dari sudut pandang banyak negara, bermacam-macam gagasan dan solusi dapat sangat meningkat. Keuntungan penggunaan pendekatan komparatif berlipat tiga:

1. lebih banyak informasi dan sistem yang diperoleh tentang negara yang berbeda;

2. pandangan yang lebih baik tercapai dalam sistem sendiri;

3. dihasilkan ide-ide untuk perbaikan situasi/sudut pandang sendiri (Haag, 1994: 24).

Gerakan, permainan, dan olahraga adalah hal yang menarik, karena merupakan pengalaman-pengalaman tindakan manusia yang terikat secara kultural dan tersedia dalam informasi yang bervariasi. Pendekatan lintas kultural dan internasional secara kontinu mencapai nilai pentingnya, khususnya karena gerakan, permainan dan olahraga sebagai ekspresi non-verbal manusia pada dasarnya bersifat internasional. Oleh karena itu, studi-studi komparatif mungkin membantu mencapai jawaban yang solid dan benar terhadap pertanyaan yang diberikan: “apa fungsi Ilmu Keolahragaan itu?”. Jawaban-jawaban ini tak terbatas pada sisi pandang satu negara. Karena gerakan, permainan dan olahraga merupakan fenomena internasional yang khas, tampaknya sangat berguna dan perlu untuk mengikuti internasionalitas ini dalam perspektif komparatif (Haag, 1994: 29).

c. Dimensi Situasional/Status Quo

Dimensi situasional berarti, situasi sekarang dianalisa sangat hati-hati dalam rangka solusi ilmiah persoalan yang ada. Ini terutama terdiri dari analisis pustaka yang relevan dengan Ilmu Keolahragaan dalam dekade terakhir. Bahkan jika proses perkembangan Ilmu Keolahragaan ke arah kemantapan penuh dan diakui disiplin akademis berada pada tingkat memuaskan, opini yang ada cukup tersedia mengenai persoalan yang dihadapi. Bidang ilmiah yang baru dan sedang berkembang harus selalu didiskusikan dan ditinjau kembali meta-teorinya sendiri agar mencapai perkembangan besar dalam ranah ilmu pengetahuan. Oleh karenanya, dimensi situasional mengenai pertanyaan “apa fungsi Ilmu Keolahragaan itu?” menjadi penting untuk dapat dipertimbangkan. Dua parameter digunakan dalam dimensi situasional: terminologi mengenai lembaga-lembaga Ilmu Keolahragaan dan perkembangan jurnal dan organisasi-organisasi Ilmu Keolahragaan pada level nasional dan internasional. Tidak diragukan bahwa dimensi situasional harus dipertimbangkan sebagai dasar tindakan masa depan. Satu kesalahan, jika sesuatu di masa lalu yang tetap konstan atau selalu berhubungan dengan apa yang disebut impian masa depan yang lebih baik, kehilangan perspektif kekinian, situasi aktual dan kondisi-kondisi konkret (Haag, 1994: 23 dan 31).

Kesulitan yang langsung tampak pada eksplorasi pendasaran ontologis Ilmu keolahragaan dalam dimensi ini adalah sifatnya yang cenderung berpijak pada ruang dan waktu tertentu, sehingga pola universalitasnya harus terlebih dahulu melewati kompromi-kompromi keilmuan global. Sejauh mana olahraga keindonesiaan tercatat dalam kamus dimensi situasional, ditentukan oleh sosialisasi global informasi keolahragaan Indonesia.

d. Dimensi Masa Depan

Dimensi ini lebih merupakan sifat dasar hipotetis dan bukan bukti secara ilmiah. Bagaimanapun, ini merupakan tugas perguruan tinggi dan sarjana yang termasuk dalam kerja universitas untuk berpikir ke depan, untuk mengembangkan perspektif dan untuk berkarya pada konsep masa depan, didasarkan pada susunan pengetahuan sejarah dan pemahaman kekinian yang seimbang.

Meskipun demikian, adalah logis/sah untuk melihat masa depan dengan mana perspektif dimensi futuristik ini dikembangkan berkenaan dengan lima persoalan relevansi dasar perkembangan ke depan Ilmu Keolahragaan: fenomena olahraga, internasionalitas, etika ilmu, metode penelitian, dan teori keilmuan. Lebih jauh, proyeksi-proyeksi dibuat untuk tiga tingkat dasar penelitian Ilmu Keolahragaan, yakni fase penemuan, realisasi dan aplikasi, dengan mana proses penelitian mengikuti muatan logis ini. Oleh karena itu, dimensi futuristik dapat menyumbang, apa yang disebut Willimczik, “Ilmu Keolahragaan interdisipliner – ilmu dalam pencarian identitasnya” (Haag, 1994: 24 dan 42).

Quo Vadis Ilmu Keolahragaan?

Teori ilmiah Ilmu Keolahragaan dalam kaitannya dengan pemahaman ilmiah Ilmu Keolahragaan sebagai aspek filsafat Ilmu Keolahragaan harus seimbang dan berkepastian. Hal ini terkait dengan konstruksi wacana meta-teoritis yang perlu bagi bidang keilmuan baru sebagaimana Ilmu Keolahragaan ini. Ilmu Keolahragaan juga segera menjadi tantangan baru masyarakat post-industrial (Watson, dalam Haag, 1994: 21). Menurut Baur (dalam Haag, 1994: 21), konsepsi-konsepsi pengembangan-teoritis baru (aspek interaksi, transaksional, dan dialektika) penting untuk perkembangan Ilmu Keolahragaan ke depan.

Keterbukaan wacana pengembangan keilmuan menuntut suasana ilmiah yang kondusif dan kompetitif. Di Indonesia, kelahiran Ilmu Keolahragaan sebagai ilmu yang mandiri di tahun 1998 merupakan anugerah sekaligus peringatan dan tantangan bagi akademisi keolahragaan. Paradigma olahraga dengan “raga” sebagai titik tekan praktek akademik di lapangan olahraga, harus diseimbangkan dengan karya-karya penelitian yang mencerminkan kualitas keilmuan modern. Suasana ilmiah yang kondusif dan kompetitif, sekali lagi, menjadi mercu suar dalam perjalanan masyarakat akademik Ilmu Keolahragaan menuju penerimaan yang qualified di masyarakat ilmiah internasional.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Ateng. 2003. Olahraga di Sekolah. dalam Harsuki dan Soewatini (ed.). Perkembangan Olahraga Terkini: Kajian Para Pakar. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Haag, H. 1994. Theoretical Foundation of Sport Science as a Scientific Discipline: Contribution to a Philosophy (Meta-Theory) of Sport Science. Schourdorf: Verlaag Karl Hoffmann.

Huizinga, Johan. 1950. Homo Ludens. London: Routledge & Kegan Paul.

Hyland, D.A. 1990. Philosophy of Sport. New York: Paragon House.

Jujun S. Suriasumantri. 2002. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.

Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan. 2000. Ilmu Keolahragaan dan Rencana Pengembangannya. Jakarta: DEPDIKNAS.

Rusli L. dan Sumardianto. 2000. Filsafat Olahraga. Jakarta: DEPDIKNAS.

Schacht, Richard. 1998. Nietzsche and Sport. dalam International Studies and Philosophy. vol. 30. No. 6. hal. 123-130.

Sukintaka. 2003. Filsafat Pendidikan Jasmani: Keberhasilan Dikjas Mendukung Keberhasilan Olahraga. dalam Harsuki dan Soewatini (ed.). Perkembangan Olahraga Terkini: Kajian Para Pakar, Jakarta: RajaGrafindo Persada.



[*]) Made Pramono adalah dosen FIK Universitas Negeri Surabaya